Cari Blog Ini

Selasa, 29 Maret 2011

KANKER RONGGA MULUT


Nama  : Endang Suryaningsih
NIM    : 04.08.1984
 

KANKER RONGGA MULUT
A.      Definisi Kanker Rongga Mulut
Menurut Lynch, 1994, kanker rongga mulut merupakan kira-kira 5% dari
semua keganasan yang terjadi pada kaum pria dan 2% pada kaum wanita
(Lynch,1994). Telah dilaporkan bahwa kanker rongga mulut merupakan kanker
utama di India khususnya di Kerala dimana insiden rata-rata dilaporkan paling tinggi,
sekitar 20% dari seluruh kanker (Balaram dan Meenattoor,1996).
Walaupun ada perkembangan dalam mendiagnosa dan terapi, keabnormalan
dan kematian yang diakibatkan kanker mulut masih tinggi dan sudah lama
merupakan masalah didunia. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk ini adalah
terutama karena kurangnya deteksi dini dan identifikasi pada kelompok resiko tinggi,
serta kegagalan untuk mengontrol lesi primer dan metastase nodus limfe servikal
(Lynch,1994; Balaram dan Meenattoor,1996).
Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kanker mulut, WHO telah
membuat petunjuk untuk mengendalikan kanker mulut, terutama bagi negara-
negara yang sedang berkembang. Pengendalian tersebut berdasarkan pada tindakan
pencegahan primer dimana prinsip utamanya mengurangi dan mencegah paparan
bahan-bahan yang bersifat karsinogen. Pendekatan kedua adalah melalui penerapan
pencegahan sekunder, yaitu berupa deteksi dini lesi-lesi kanker dan prakanker
rongga mulut (Subita,1997). Folson dkk, 1972, memperkirakan bahwa 80% dari
semua kasus kematian akibat kanker rongga mulut dapat dicegah dengan deteksi
dini keganasan dalam mulut (Folson dkk,1972).
Pada umumnya, untuk mendeteksi dini proses keganasan dalam mulut dapat
dilakukan dengan melalui anamnese, pemeriksaan klinis dan diperkuat oleh
pemeriksaan tambahan secara laboratorium. Dalam makalah ini akan dikemukakan
langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh dokter gigi untuk mendeteksi dini proses
keganasan dalam mulut. Dengan demikian diharapkan dokter gigi dapat menemukan
lesi-lesi yang dicurigai sebagai proses keganasan lebih awal sehingga prognosis
kanker rongga mulut lebih baik

B.     Etiologi
Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu proses
yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi dan
perkembangan tumor (Scully,1992).
Secara garis besar, etiologi kanker rongga mulut dapat dikelompokkan atas :
1.      Faktor lokal, meliputi kebersihan rongga mulut yang jelek, iritasi kronis dari
restorasi, gigi-gigi karies/akar gigi, gigi palsu (Smith,1989; Bolden,1982;
Tambunan,1993).
2.      Faktor luar, antara lain karsinogen kimia berupa rokok dan cara
penggunaannya, tembakau, agen fisik, radiasu ionisasi, virus, sinar matahari
(Scully,1992; Bolden,1982; Smith,1989).
3.      Faktor host, meliputi usia, jenis kelamin, nutrisi imunologi dan genetik
      (Scully,1992; Smith,1989).
Faktor-faktor etiologi tersebut tidak bekerja 'secara terpisah, kombinasi dari
berbagai faktor sering dijumpai bersama-sama. Pada dasawarsa terakhir,
patogenesis molekular neoplasma menunjukkan bahwa neoplasma merupakan
penyakit genetik. Terbentuknya tumor sebagai akibat terjadinya penyimpangan
genetik yang disebabkan oleh faktor-faktor etiologi sehingga terjadi pembelahan gel
yang berlebihan dan tidak terkendali. Gen yang menjadi sasaran perubahan genetik
adalah onkogen (gen yang meningkatkan pertumbuhan), anti onkogen (gen yang
menghambat pertumbuhan) dan gen yang mengatur apoptosis (Scully,1992).

C.  Deteksi Dini Kanker Rongga Mulut

Dokter gigi, dimana dalam perawatan rongga mulut dan gigi selalu melihat
bibir dan mukosa mulut mempunyai kesempatan yang luas untuk menemukan
kanker rongga mulut sedini mungkin. Penemuan dini kanker rongga mulut
merupakan faktor penting, bertujuan untuk terapi kuratif, prognosa yang makin
baik, kepentingan kosmetik dan mengurangi kecacatan serta kelangsungan hidup
yang lebih lama (Lynch,1994; Tambunan,1993).
Tetapi sayangnya hampir semua penderita kanker rongga mulut ditemukan
dalam stadium yang sudah lanjut, yang biasanya sudah terdapat selama berbulan-
bulan atau bahkan lebih lama (Lynch,1994). Akibatnya prognosa dari kanker rongga
mulut relatif buruk, suatu kenyataan yang menyedihkan dimana seringkali prognosa
ini diakibatkan oleh diagnosa dan perawatan yang terlambat (Pinborg,1991).
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan keterlambatan ini antara lain
perkembangan kanker pada tahap awal seringkali tidak menimbulkan keluhan,
kenyataan bahwa mereka yang sudah tua serta lemah tidak mau repot-repot datang
ke dokter, pendidikan masyarakat pada umumnya masih rendah, lokasi lesi yang
tidak langsung terlihat dan lesi dirawat sebagai lesi jinak (Lynch,1994;
Pinborg,1991). Faktor lain adalah dokter gigi kurang teliti pada pemeriksaan rutin
rongga mulut atau tidak mengetahui tanda-tanda awal keganasan dalam mulut atau
ragu-ragu karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gambaran klinis
keganasan mulut sehingga terlambat untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut
(Folson,1972). Untuk itu seorang dokter gigi seharusnya memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai sifat dan riwayat kanker mulut yang meliputi tanda dan gejala awal,
gambaran klinis, lokasi yang sering terlibat, faktor-faktor etiologi dan cara diagnosis
untuk mendeteksi penyakit ini (Bolden,1982).
Terdapat beberapa prosedur klinis yang dapat dilakukan dokter gigi untuk
mendeteksi dini kanker rongga mulut. Umumnya prosedur-prosedur tersebut
mengikuti prosedur standart diagnosa penyakit mulut. Pada artikel ini, untuk deteksi
dini dan diagnosis kanker rongga mulut dikelompokkan atas diagnosis klinis yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan klinis, gambaran klinis dan predileksi; serta
diagnosis histopatologis yang terdiri dari sitologi rongga mulut dan biopsi.

D.  Diagnose Klinis

1.    Anamnesis.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik pada pasien, dokter gigi sebaiknya
melakukan anamnesis yang meliputi : Keluhan pasien, keluhan-keluhan gigi
sebelumnya, riwayat medis umum yang lalu dan sekarang, gaya hidup dan
kebiasaan, riwayat keluarga, status sosioekonomi dan pekerjaan (Bolden,1982).
Sambil melakukan anamnese dokter gigi dapat juga melihat keadaan ekstra oral
pasien, seperti bibir dan asimetri wajah.
2.    Pemeriksaan klinis.
Pada pemeriksaan klinis, dokter gigi boleh memiliki teknik yang berbeda
antara pemeriksa yang satu dengan yang lainnya, tetapi prinsip dasarnya adalah
sama. Setiap pasien berhak mendapatkan pemeriksaan yang lengkap dari jaringan
mulut dan para oral. Pemeriksaan ini meliputi :
1. Perubahan warna, apakah mukosa mulut berwarna abnormal, misalnya      putih,  merah atau hitam.
2. Konsistensi, apakah jaringan keras, kenyal, lunak, fIuktuan atau nodular.
3. Kontur, apakah permukaan mukosa kasar, ulserasi, asimetri atau
    pembengkakan.
4. Temperatur.
5. Fungsi, apakah pasien dapat membuka mulut dengan sempurna.
6. Lymphnode servikal.
3. Gambaran klinis.
Kebanyakan pasien kanker rongga mulut mempunyai riwayat lesi/keadaan
prakanker mulut sebelumnya, seperti leukoplakia, eritrplakia, submukus fibrosis dan
lain-lain. Untuk itu dokter gigi seharusnya mengenali gambaran klinis lesi-lesi
tersebut (Balaram dan Meenattoor,1996).
Umumnya kanker rongga mulut tahap dini tidak menimbulkan gejala,
diameter kurang dari 2 cm, kebanyakan berwarna merah dengan atau tanpa disertai
komponen putih, licin, halus dan memperlihatkan elevasi yang minimal
(Lynch,1994). Seringkali awal dari keganasan ditandai oleh adanya ulkus. Apabila
terdapat ulkus yang tidak sembuh-sembuh dalam waktu 2 minggu, maka keadaan ini
sudah dapat dicurigai sebagai awal proses keganasan. Tanda-tanda lain dari ulkus
proses keganasan meliputi ulkus yang tidak sakit, tepi bergulung, lebih tinggi dari
sekitarnya dan indurasi (lebih keras), dasarnya dapat berbintil-bintil dan
mengelupas. Pertumbuhan karsinoma bentuk ulkus tersebut disebut sebagai
pertumbuhan endofitik (Williams,1990; Tambunan,1993). Selain itu karsinoma mulut
juga terlihat sebagai pertumbuhan yang eksofitik (lesi superfisial) yang dapat
berbentuk bunga kol atau papiler, mudah berdarah. Lesi eksofitik ini lebih mudah
dikenali keberadaannya dan memiliki prognosa lebih baik (Williams; 1990;
Tambunan,1993).
Gambaran klinis kanker rongga mulut pada berbagai lokasi rongga mulut
mungkin memiliki beberapa perbedaan (Daftary,1992). Untuk lebih jelas, gambaran
klinis akan dibahas secara terpisah menurut lokasiny
Kanker pada lidah.
Hampir 80% kanker lidah terletak pada 2/3 anterior lidah (umumnya pada
tepi lateral dan bawah lidah) dan dalam jumlah sedikit pada posterior lidah
(Daftary,1992; Tambunan,1993; Pinborg,1986). Gejala pada penderita tergantung
pada lokasi kanker tersebut. Bila terletak pada bagian 2/3 anterior lidah, keluhan
utamanya adalah timbulnya suatu massa yang seringkali terasa tidak sakit. Bila
timbul pada 1/3 posterior, kanker tersebut selalu tidak diketahui oleh penderita dan
rasa sakit yang dialami biasanya dihubungkan dengan rasa sakit tenggorokan.
Kanker yang terletak 2/3 anterior lidah lebih dapat dideteksi dini daripada
rang terletak pada 1/3 posterior lidah. Kadang-kadang metastase limph node
regional mungkin merupakan indikasi pertama dari kanker kecil pada lidah
:Pinborg,1986).
Pada stadium awal, secara klinis kanker lidah dapat bermanifestasi dalam
berbagai bentuk, dapat berupa bercak leukoplakia, penebalan, perkembangan
eksofitik atau endofitik bentuk ulkus. Tetapi sebagian besar dalam bentuk ulkus
:Daftary,1992). Lama-kelamaan ulkus ini akan mengalami infiltrasi lebih dalam
jangan tepi yang mengalami indurasi (Pinborg,1986). Umumnya tidak menimbulkan
rasa sakit kecuali ada infeksi sekunder.
Kanker pada bibir.
Kanker bibir selalu dihubungkan dengan orang-orang yang memiliki aktivitas
diluar seperti nelayan dan petani. Sinar matahari mungkin terlibat dalam Datogenese
kanker bibir. Umumnya lebih banyak terjadi pada bibir bawah jaripada bibir atas
(Daftary,1992; Pinborg,1986; Smith,1989).
Pada awal pertumbuhan, lesi dapat berupa modul kecil atau ulkus yang tidak
sembuh-sembuh. Deteksi tumor pada keadaan ini memberikan kesempatan untuk
menemukan karsinoma dini (Daftary,1992; Pinborg,1986,Tambunan,1993). Lesi
yang lebih lanjut dapat berbentuk papillari, ulseratif atau infiltratif. Tipe
papilomatous dapat diawali dari epitel yang menebal dan sebagian dari epitel ini
tetap berada pada superficial. Lesi-lesi yang ulseratif dan infiltratif diawali dari epitel
yang menebal tetapi selanjutnya mengalami infiltrasi lebih dalam (Daftary,1992).
Tanda yang paling penting adalah terdapat indurasi yang didapat pada pinggiran
ulkus.
Kanker dasar mulut.
Kanker pada dasar mulut biasanya dihubungkan dengan penggunaan alkohol
dan tembakau. Pada stage awal mungkin tidak menimbulkan gejala. Bila lesi
berkembang pasien akan mengeluhkan adanya gumpalan dalam mulut atau
perasaan tidak nyaman (Pinborg,1986; Daftary,1992).
Secara klinis yang paling sering dijumpai adalah lesi berupa ulserasi dengan
tepi yang timbul dan mengeras yang terletak dekat frenulum lingual (Pinborg,1986).
Bentuk yang lain adalah penebalan mukosa yang kemerah-merahan, nodul yang
tidak sakit atau dapat berasal dari leukoplakia (Daftary, 1992). Pada kanker tahap
lanjut dapat terjadi pertumbuhan eksofitik atau infiltratif.
Kanker pada mukosa pipi.
Di negara yang sedang berkembang, kanker pada mukosa pipi dihubungkan
dengan kebiasaan mengunyah campuran pinang, daun sirih, kapur dan tembakau.
Susur tersebut berkontak dengan mukosa pipi kiri dan kanan selama beberapa jam
(Daftary,1992).
Pada awalnya lesi tidak menimbulkan simptom, terlihat sebagai suatu daerah
eritematus, ulserasi yang kecil, daerah merah dengan indurasi dan kadang-kadang
dihubungkan dengan leukoplakia tipe nodular (Daftary,1992; Pinborg,1986). Denga
meningkatnya ukuran tumor, akan menjadi target trauma pada waktu mengunyah,
sehingga cenderung menjadi ulserasi dan infiltratif.
Kanker pada gingiva.
Kanker pada gingiva umumnya berasal dari daerah dimana susur tembakau
ditempatkan pada orang-orang yang memiliki kebiasaan ini. Daerah yang terlibat
biasanya lebih sering pada gingiva mandibula daripada gingiva maksila
(Daftary,1992; Pinborg,1986).
Lesi awal terlihat sebagai ulger indolen, granuloma yang kecil atau sebagai
nodul. Sekilas lesi terlihat sama dengan lesi yang dihasilkan oleh trauma kronis atau
hiperplasia inflamatori (Daftary,1992). Lesi yang lebih lanjut berupa pertumbuhan
eksofitik atau pertumbuhan infiltratif yang lebih dalam. Pertumbuhan eksofitik
seperti bunga kol, mudah berdarah. Pertumbuhan infiltratif biasanya tumbuh invasif
pada tulang mandibula dan menimbulkan desdruktif (Tambunan,1993).
Kanker pada palatum.
Pada daerah yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan menghisap rokok
secara terbalik, kanker pada palatum merupakan kanker rongga mulut yang umum
terjadi dari semua kanker mulut. Perubahan yang terjadi pada mukosa mulut yang
dihubungkan dengan menghisap rokok secara terbalik adalah adanya ulserasi, erosi,
daerah nodul dan bercak. Reddy dkk, 1974. menggambarkan suatu microinvasive
carcinoma untuk melukiskan suatu lesi awal dalam bentuk yang kecil, oval atau bulat
berwarna kemerah-merahan, erosi yang licin dengan daerah hiperkeratosis
disekelilingnya lesi ini biasanya terjadi pada zona glandular palatum keras dan
asimptomatik. Jika mendapatkan tekanan dapat berdarah (Daftary, 1992).
Kebanyakan kanker palatum merupakan pertumbuhan eksofitik dan dasar
yang luas dengan permukaan bernodul. Jika lesi terus berkembang mungkin akan
mengisi seluruh palatum. Kanker pada palatum dapat menyebabkan perforasi
palatum dan meluas sampai ke rongga hidung (Daftary, 1992).
Predileksi.
Selain mengenali gambaran klinis awal proses keganasan dan keganasan,
dokter gigi harus mengetahui faktor-faktor predileksi umur, jenis kelamin dan
tempat dari kanker rongga mulut. Sebagaimana dengan kanker pada bagian tubuh
lainnya, sebagian besar kasus-kasus kanker mulut terjadi pada usia tua diatas 40
tahun. Keadaan ini dihubungkan dengan daya tahan tubuh yang menurun dengan
semakin bertambahnya usia. Pria lebih sering terkena, kemungkinan dihubungkan
dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Walaupun kanker rongga mulut dapat terjadi disemua daerah mukosa mulut,
penting untuk mengetahui predileksi tempat. Kanker dini yang tidak bergejala pada
dasarnya terlokalisir pada tiga tempat yang spesifik dalam rongga mulut, meliputi
dasar mulut, kompleks palatum lunak dan bagian permukaan ventral lidah dan
sepertiga tengah serta sepertiga posterior dari aspek lateral lidah (Pinborg,1986;
Lynch,1994).

E.     Diagnose Histopatologis
Walaupun seorang klinisi memiliki pengalaman klinis yang baik sekali, untuk
memastikan diagnosa defenitif dari proses awal keganasan dan keganasan
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dalam hal ini yang sering dilakukan adalah
pemeriksaan sitologi mulut dan biopsi
Sitologi mulut.
Sitologi mulut telah lama digunakan untuk menyelidiki berbagai macam
panyakit mulut, dimana prosedurnya paling bermanfaat dalam evaluasi terhadap
suatu keadaan yang dicurigai sebagai suatu keganasan, khususnya bila keadaan
tersebut merupakan suatu lesi yang mengalami ulserasi atau lesi merah yang tidak
berkeratin (Lynch, 1994).
Sitologi mulut merupakan suatu teknik yang sederhana dan efektif untuk
mendeteksi dini lesi-lesi mulut yang mencurigakan. Ketepatan hasil diagnostik
sitologi mulut tidaklah sama dengan biopsi sehingga tidak dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosa akhir yang defenitif (Skhlar,1984). Tetapi merupakan hal
yang kurang praktis jika kita segera melakukan biopsi untuk setiap lesi dalam mulut.
Untuk itu diperlukan suatu cara yang dapat diandalkan dan diterima sebelum kita
melakukan biopsi, yaitu pemeriksaan sitologi mulut.
Secara defenisi, pemeriksaan sitologi mulut merupakan suatu pemeriksaan
mikroskopik gel-gel yang dikerok/dikikis dari permukaan suatu lesi didalam mulut
(Coleman dan Nelson,1993). Untuk aplikasi klinisnya, seorang dokter gigi harus
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kapan pemeriksaan ini dilakukan dan
kapan tidak dilakukan, peralatan yang digunakan, prosedur kerja, data klinis yang
disertakan sampai pengirimannya ke bagian Patologi anatomi (Kerr dkk,1978).
Klasifikasi dan interpretasi yang digunakan dalam laporan sitologi mulut
adalah seperti dibawah ini (McKinney dkk,1985; Lynch,1994). Kelas I : gel-gel
normal; Kelas II ; gel-gel yang tidak khas (atipik), tidak ada bukti keganasan ; Kelas
III: Perubahan pada pola nuklear yang sifatnya tidak jelas, tidak ada tanda-tanda
keganasan, tetapi terdapat gel yang menyimpang dari normal; Kelas IV: Memberi
kesan sebagai suatu keganasan ; Kelas V: Perubahan keganasan terlihat jelas. Untuk
kelas IV dan V indikasi untuk biopsi.
Biopsi.
Jika hasil pemeriksaan sitologi meragukan, segera lakukan biopsi. Biopsi
merupakan pengambilan spesimen baik total maupun sebagian untuk pemeriksaan
mikroskopis dan diagnosis (Pedersen,1996; Coleman dan Nelson,1993). Cara ini
merupakan cara yang penting dan dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosa
defenitif dari lesi-lesi mulut yang dicurigai (Bolden, 1982).
Teknik biopsi memerlukan bagian dari lesi yang mewakili dan tepi jaringan
yang normal. Biopsi dapat dilakukan dengan cara insisional atau eksisional. Biopsi
insisional dipilih apabila lesi permukaan besar (lebih dari 1 cm) dan biopsi eksisional
yaitu insisi secara intoto dilakukan apabila lesi kecil (Pedersen,1996; Bolden;1982;
Coleman dan Nelson,1993). Hasil interpretasi mikroskopis dari suatu biopsi dapat
menunjukkan suatu rentang yang luas. Hasil-hasil seperti parakeratosis,
ortokeratosis, akantosis, hiperplasia pseudoepiteliomatus, peradangan akut dan
kronis menunjukkan golongan jinak. Untuk karsinoma gel skuamus, hasil
pemeriksaan mikroskopis biasanya meliputi adanya abnormalitas seluler,
terputusnya kontinuitas membran basalis oleh sarang gel-gel abnormal yang meluas
sampai ke dalam jaringan ikat, ukuran gel yang berubah, peningkatan kecepatan
mitosis perubahan ukuran dan bentuk nukleus, gangguan dalam proses maturasi dan
hiperkromatin (Lynch,1994).
Untuk memenuhi kebutuhan yang lebih seksama dalam mengidentifikasi
kanker rongga mulut pada tahap dini, telah dikembangkan suatu cara biopsi dengan
menggunakan sikat (Oral CDx). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sciubba (1999)
dengan menggunakan biopsi dengan cara sikat menunjukkan bahwa cara ini dapat
memberikan bantuan yang tidak terhingga nilainya dalam memeriksa lesi di rongga
mulut. Pada penelitian tersebut, biopsi dengan memakai sikat merupakan alat
deteksi yang sepadan dengan biopsi memakai skalpel. Walaupun begitu, harus
ditekankan bahwa Oral CDx bukanlah pengganti untuk biopsi dengan memakai
skalpel (Sciubba,1999).

F.     kesimpulan

Kanker rongga mulut pada tahap awal sukar untuk dideteksi secara klinis,
karena seringkali tidak menimbulkan gejala pada pasien atau perubahan- perubahan
yang menyertainya mungkin tidak begitu jelas, hanya menghasilkan perubahan yang
sedikit dalam hal fungsi, warna, tekstur, kontinuitas atau konsistensi dari jaringan
yang dikenai. Akibatnya seringkali pasien datang ke dokter gigi dengan lesi kanker
yang sudah dalam keadaan tahap lanjut. Untuk itu diperlukan suatu tindakan oleh
dokter gigi untuk mendeteksi lesi-lesi prakanker dan kanker rongga mulut pada
tahap dini. Lesi-lesi kanker pada tahap dini tidak dapat diidentifikasi secara adekuat
hanya dengan pemeriksaan visual saja. Pengetahuan mengenai gambaran klinis
yang baik sekalipun dari seorang dokter gigi belumlah dapat menegakkan diagnosa
yang tepat dari lesi kanker pada tahap awal, sebab belum ada indikator klinis yang
pasti untuk menentukan jinak atau ganasnya suatu lesi. Tetapi walaupun begitu,
dokter gigi harus mengetahui gejala dan gambaran klinis lesi kanker rongga mulut
pada tahap awal, agar nantinya dapat merencanakan tahap-tahap pemeriksaan
selanjutnya. Berikut ini merupakan tanda-tanda yang harus diwaspadai oleh dokter
gigi terhadap kemungkinan adanya kanker mulut yang baru mulai terjadi atau dalam
tahap lanjut (Bolden, 1982):
1. Bercak putih, bersisik, persisten.
2. Bintik pigmen yang tiba- tiba ukurannya membesar.
3. Ulser yang tidak sembuh-sembuh.
4. Gusi bengkak dan berdarah yang tidak dihubungkan dengan obat-obatan.
5. Asimetri wajah yang progresif.
6. Gigi yang tanggal secara tiba-tiba, tanpa adanya riwayat trauma pada
    rahang.
7. Parastesi, anestesi dan mati rasa di rongga mulut.
8. Trismus dan sakit sewaktu menggerakkan rahang.
9. Adanya gumpalan pada leher, wajah atau jaringan mulut.
10. Luka pencabutan yang tidak sembuh-sembuh.
11. Perubahan
Bila terdapat salah satu atau beberapa tanda-tanda tersebut, dokter gigi
harus segera melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi secara dini lesi
kanker pada tahap awal, yang hasilnya dapat mendukung gambaran klinis yang ada
didalam rongga mulut. Biasanya dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil
pemeriksaan dan ketepatan diagnosis histopatologis tergantung pada kerjasama
antara klinikus dan ahli patologi, terutama dalam hal ketepatan mengumpulkan dan
memproses bahan pemeriksaan serta mengidentifikasikan gel-gel

G.    Daftar  Pustaka
1.      Baird, S. 1991. Cancer Nursing. Philadelpia: Independence Square West
2.      Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : EGC.
3.      Romali, Ahmad, dkk, 2000. Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta
4.      http://www.scribd.com/doc/40237193/Prosedur-Deteksi-Dini-Dan-Diagnosis-Kanker-Rongga-Mulut


Tidak ada komentar:

Posting Komentar