Cari Blog Ini

Jumat, 22 April 2011

HEMOROID

NAMA :  YUNI RETNOSARI
NIM : 04.0.2028
KELAS : C/KP/VI
Hemoroid
A. DEFINISI
Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis.
Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi di dalam kanal anal. Hemoroid sangat umum terjadi. Pada usia 50 an, sekitar 50 % individu mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang terkena.
Hemoroid diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu hemoroid interna yang terjadi diatas sfingter anal dan hemoroid eksternal yang terjadi diluar sfingter anal.
B. PATOGENESIS
Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan, atau inflamasi vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/pencetus. Faktor risiko hemoroid antara lain mengejan pada saat buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah (lebih banyak memakai jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban sambil membaca), peningkatan tekanan intra abdomen yang disebabkan oleh tumor (tumor usus, tumor abdomen), kehamilan (disebabkan karena tekanan janin pada abdomen dan perubahan hormonal), usia tua, konstipasi kronik, diare kronik atau diare yang berlebihan, hubungan seks per-anal, kurang minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang olahraga/imobilisasi.
C. PATOFISIOLOGI
Hemoroid adalah bantalan jaringan ikat dibawah lapisan epitel saluran anus. Sebagai bantalan, maka ia berfungsi untuk:
o Mengelilingi dan menahan anastomosis antara arteri rektalis superior dengan vena rektalis superior, media, dan inferior
o Mengandung lapisan otot polos di bawah epitel yang membentuk masa bantalan
o Memberi informasi sensorik penting dalam membedakan benda padat, cair, atau gas
o Secara teoritis, manusia memiliki tiga buah bantalan pada posterior kanan, anterior kanan, dan lateral kiri.
Kelainan-kelainan bantalan yang terjadi adalah pembesaran, penonjolan keluar, trombosis, nyeri, dan perdarahan yang kemudian disebut/menjadi ciri dari hemoroid.
D. KLASIFIKASI
Hemoroid diklasifikasikan menjadi hemoroid eksterna dan interna.
Hemoroid interna dibagi berdasarkan gambaran klinis, yaitu:
1. Derajat I: bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps keluar kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop;
2. Derajat II: pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke dalam anus secara spontan.
3. Derajat III: pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus dengan bantuan dorongan jari.
4. Derajat IV: prolaps hemoroid yang permanen, rentan, dan cenderung untuk mengalami trombosis atau infark.
Untuk melihat risiko perdarahan, hemoroid dapat dideteksi olek adanya stigmata perdarahan berupa bekuan darah yang masih menempel, erosi, kemerahan di atas hemoroid.
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis hemoroid ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan klinis dari hemoroid berdasarkan klasifikasi hemoroid (derajat I sampai dengan derajat IV) dan pemeriksaan anoskopi dan kolonoskopi. Untuk memastikan, diperlukan pemeriksaan rontgen barium enema atau kolonoskopi total.
F. MANIFESTASI KLINIS
Hemoroid menyebabkan tanda dan gejala:
- Rasa gatal dan nyeri
- Perdarahan berwarna merah terang pada saat BAB
- Pada hemoroid eksternal, sering timbul nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis (pembekuan darah dalam hemoroid) sehingga dapat menimbulkan iskemia dan nekrosis pada area tersebut.
G. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya hemoroid antara lain:
1. Terlalu banyak duduk
2. Diare menahun/kronis
3. Kehamilan: disebabkan oleh karena perubahan hormon
4. Keturunan penderita wasir
5. Hubungan seks tidak lazim (perianal)
6. Penyakit yang membuat penderita mengejan
7. Sembelit/ konstipasi/ obstipasi menahun
8. Penekanan kembali aliran darah vena
9. Melahirkan
10. Obesitas
11. Usia lanjut
12. Batuk berat
13. Mengangkat beban berat
14. Tumor di abdomen/usus proksimal
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
1. Penatalaksanaan Medis
Ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai III atau semua derajat hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau klien yang menolak operasi.
a. Non-farmakologis
Bertujuan untuk mencegah perburukan penyakit dengan cara memperbaiki defekasi.
Pelaksanaan berupa perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, perbaikan pola/cara defekasi. Perbaikan defekasi disebut Bowel Management Program (BMP) yang terdiri atas diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses, dan perubahan perilaku defekasi (defekasi dalam posisi jongkok/squatting). Selain itu, lakukan tindakan kebersihan lokal dengan cara merendam anus dalam air selama 10-15 menit, 2-4 kali sehari. Dengan perendaman ini, eksudat/sisa tinja yang lengket dapat dibersihkan. Eksudat/sisa tinja yang lengket dapat menimbulkan iritasi dan rasa gatal bila dibiarkan.
b. Farmakologi
Bertujuan memperbaiki defekasi dan meredakan atau menghilangkan keluhan dan gejala.
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat macam, yaitu:
1. Obat yang memperbaiki defekasi
Terdapat dua macam obat yaitu suplement serat (fiber suplement) dan pelicin tinja (stool softener). Suplemen serat komersial yang yang banyak dipakai antara lain psylium atau isphaluga Husk (ex.: Vegeta, Mulax, Metamucil, Mucofalk) yang berasal dari kulit biji plantago ovate yang dikeringkan dan digiling menjadi bubuk. Obat ini bekerja dengan cara membesarkan volume tinja dan meningkatkan peristaltik usus. Efek samping antara lain ketut dan kembung. Obat kedua adalah laxant atau pencahar (ex.: laxadine, dulcolax, dll).
2. Obat simptomatik
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan rasa gatal, nyeri, atau kerusakan kulit di daerah anus. Jenis sediaan misalnya Anusol, Boraginol N/S dan Faktu. Sediaan yang mengandung kortikosteroid digunakan untuk mengurangi radang daerah hemoroid atau anus. Contoh obat misalnya Ultraproct, Anusol HC, Scheriproct.
3. Obat penghenti perdarahan
Perdarahan menandakan adanya luka pada dinding anus atau pecahnya vena hemoroid yang dindingnya tipis. Psyllium, citrus bioflavanoida yang berasal dari jeruk lemon dan paprika berfungsi memperbaiki permeabilitas dinding pembuluh darah.
4. Obat penyembuh dan pencegah serangan
Menggunakan Ardium 500 mg dan plasebo 3×2 tablet selama 4 hari, lalu 2×2 tablet selama 3 hari. Pengobatan ini dapat memberikan perbaikan terhadap gejala inflamasi, kongesti, edema, dan prolaps.
c. Minimal Invasif
Bertujuan untuk menghentikan atau memperlambat perburukan penyakit dengan tindakan-tindakan pengobatan yang tidak terlalu invasif antara lain skleroterapi hemoroid atau ligasi hemoroid atau terapi laser. Dilakukan jika pengobatan farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil.
2. Penatalaksanaan Tindakan Operatif
Ditujukan untuk hemoroid interna derajat IV dan eksterna atau semua derajat hemoroid yang tidak berespon terhadap pengobatan medis.
o Prosedur ligasi pita karet
o Hemoroidektomi kriosirurgi
o Laser Nd: YAG
o Hemoroidektomi
3. Penatalaksanaan Tindakan non-operatif
o Fotokoagulasi inframerah, diatermi bipolar, terapi laser adalah tekhnik terbaru yang digunakan untuk melekatkan mukosa ke otot yang mendasarinya
o Injeksi larutan sklerosan juga efektif untuk hemoroid berukuran kecil dan berdarah. Membantu mencegah prolaps.
Nursing Assesment:
o Personal Hygiene yang baik terutama didaerah anal
o Menghindari mengejan selama defekasi
o Diet tinggi serat
o Bedrest/tirah baring untuk mengurangi pembesaran hemoroid
I. PENCEGAHAN
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hemoroid antara lain:
1. Jalankan pola hidup sehat
2. Olah raga secara teratur (ex.: berjalan)
3. Makan makanan berserat
4. Hindari terlalu banyak duduk
5. Jangan merokok, minum minuman keras, narkoba, dll.
6. Hindari hubunga seks yang tidak wajar
7. Minum air yang cukup
8. Jangan menahan kencing dan berak
9. Jangan menggaruk dubur secara berlebihan
10. Jangan mengejan berlebihan
11. Duduk berendam pada air hangat
12. Minum obat sesuai anjuran dokter
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Riwayat kesehatan:
- Apakah ada rasa gatal, terbakar dan nyeri selama defekasi?
- Adakah nyeri abdomen?
- Apakah terdapat perdarahan dari rektum? Berapa banyak, seberapa sering, apa warnanya?
- Adakah mucus atau pus?
- Bagaimana pola eliminasi klien? Apakah sering menggunakan laksatif?
Riwayat diet:
- Bagaimana pola makan klien?
- Apakah klien mengkonsumsi makanan yang mengandung serat?
Riwayat pekerjaan:
- Apakah klien melakukan pekerjaan yang memerlukan duduk atau berdiri dalam waktu lama?
Aktivitas dan latihan:
- Seberapa jumlah latihan dan tingkat aktivitas?
Pengkajian obyektif:
- Menginspeksi feses apakah terdapat darah atau mucus dan area perianal akan adanya hemoroid, fisura, iritasi, atau pus.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi b.d mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama defekasi
b. Ansietas b.d rencana pembedahan dan rasa malu
c. Nyeri b.d iritasi, tekanan dan sensitivitas pada area rektal/anal sekunder akibat penyakit anorektal dan spasme sfingter post-operatif
d. Perubahan eliminasi urinarius b.d rasa takut nyeri post-operatif
e. Risiko ketidakefektifan penatalaksanaan program terapi
3. Perencanaan dan intervensi
- Menghilangkan konstipasi
Intervensi:
a. Menyusun waktu untuk defekasi, biasanya setelah makan atau pada waktu tidur
b. Menggunakan latihan relaksasi sesuai kebutuhan
c. Menambahkan makanan tinggi serat pada diet
d. Meningkatkan masukan cairan hingga 2 liter/24 jam
- Menurunkan ansietas
- Menghilangkan nyeri
Intervensi:
a. Mengubah posisi tubuh dan aktifitas untuk meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan
- Meningkatkan eliminasi urinarius
- Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi
- Pendidikan klien dan pertimbangan perawatan di rumah
K. BIBLIOGRAFI
Leff, E: Hemorrhoidectomy – Laser vs non-laser: out patient surgical experience at: www.medscape.com.
Keigley MRB. 2001. Hemorrhoidal Disease in Surgery of the Anus, Rectum and Colon, 2nd edition. WB Saunders: London.
Iwagaki: The Laser Treatment of Hemorrhoids: result of a study on 1816 patients in Surgery Today, vol 19 on 6 November 1989.
Gurley, D: hemorrhoid at: www.emedicine.com.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV.

Rabu, 20 April 2011


NAMA           :           ANGGUN PRAMESTI
NIM                :           04.08.1977
KELAS          :           C/KP/VI

POLISITEMIA VERA

A.        PENGERTIAN
Menurut bahasa, polisitemia vera (PV) terdiri dari dua kata yaitu polisitemia dan vera. Polisitemia berasal dari bahasa Yunani yaitu poly (banyak), cyt (sel) dan hemia (darah). Jadi, polisitemia berarti peningkatan sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit) di dalam darah. Sedangkan vera berasal dari bahasa Latin yang artinya sejati. Kata vera digunakan untuk membedakannya dari keadaan (penyakit) lain yang mengakibatkan peningkatan sel darah merah.
Jadi, polisitemia vera adalah suatu gangguan atau kelainan mieloproliferatif kronik yang ditandai dengan peningkatan sel darah merah (eritrositosis) sehingga terjadi hiperviskositas aliran darah.
B.        ETIOLOGI
Etiologi polisitemia vera belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Tetapi diduga karena adanya mutasi dari sel-sel progenitor erythroid dan perubahan fungsi tirosin kinane, yaitu janus kinase 2 (JAK2).
Sel-sel progenitor erythroid dari pasien dengan  PV membentuk coloniesin dalam ketiadaan eritropoietin, juga menunjukkan hipersensitivitas sel-sel myeloid, dan berbagai faktor pertumbuhan.
Janus kinase 2 (JAK2) merupakan suatu tirosin kinase sitoplasma yang mempunyai peran kunci dalam transduksi sinyal beberapa reseptor fator pertumbuhan hematopoietik, termasuk erythropoietin, granulosit-makrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), interleukin (IL)-3, IL-5, thrombopoietin, and hormon pertumbuhan.

C.        FAKTOR RESIKO
1.    Usia > 60 tahun, dengan sejarah trombositosis.
2.    Hipoksia dari penyakit paru-paru (kronis) jangka panjang dan merokok. Akibat dari hipoksia adalah peningkatan jumlah eritropoietin. Dengan adanya peningkatan jumlah eritropoietin oleh ginjal, akan mengakibatkan peningkatan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
3.    Penerimaan karbon monoksida (CO) kronis. Hemoglobin mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap CO daripada oksigen.
4.    Orang yang tinggal di dataran tinggi mungkin juga mempunyai resiko polisitemia pada tingkat oksigen lingkungan yang rendah.
5.    Orang dengan mutasi genetik (yaitu pada gen Janus kinase-2  atau JAK-2), jenis polisitemia familial dan keabnormalan hemoglobin juga membawa faktor resiko.
D.        PATOFISIOLOGI
Terdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.
1.    Polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif karena terjadi penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan.
2.    Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar  eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena rangsangan eritropoietin yang kuat.
3.    Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin. Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah hipoksia.
Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui.
Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi. Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah.
Pada keadan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi aktivasi signal transducers and activators of transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor.
Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu,  proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit hematopoetic growth factor.
Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom Budd-Chiari.
Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan resiko pirai dan batu ginjal
E.        TANDA DAN GEJALA
1.    Sakit kepala, keringat berlebihan, telinga berdengung, gangguan penglihatan (seperti pandangan kabur), pusing dan vertigo. Gejala-gejala ini diduga merupakan efek dari pembuluh darah membesar dengan aliran darah lebih lambat, terjadi pada sekitar 30% pasien PV.
2.    Gatal-gatal pada kulit, terutama setelah mandi air hangat atau mandi dengan menggunakan shower (terjadi pada beberapa pasien), terjadi pada sekitar 40% pasien PV.
3.    Erythromelalgia yang ditandai dengan eritema pada kulit, terutama pada telapak tangan, lobus telinga, hidung, dan pipi. Hal ini dapat terjadi akibat tingginya konsentrasi eritrosit dalam darah. Beberapa pasien juga mengalami rasa panas terbakar pada kaki.
4.    Tukak lambung dapat berhubungan dengan PV, dan dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal.
5.    Pembesaran limpa, yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik atau menggunakan tes USG.
6.    Angina atau gagal jantung kongestif merupakan efek berbahaya akibat viskositas darah yang tinggi dan adanya platelet yang dapat menyumbat pembuluh darah koroner dan membentuk gumpalan, terjadi pada sekitar 30% pasien PV
7.    Gout, yaitu peradangan sendi yang disebabkan oleh meningkatnya kadar asam urat. PV dapat memperburuk keadaan gout juga merupakan faktor resiko dari gout.
8.    Perdarahan atau memar, terjadi pada sekitar 25% pasien PV.
9.    Kehilangan berat badan

F.         DIAGNOSIS
1.  Pemeriksaan Fisik, yaitu ada tidaknya pembesaran limpa dan penampilan kulit (eritema).
2.  Pemeriksaan Darah
Jumlah sel darah ditentukan oleh complete blood cell count (CBC), sebuah tes standar untuk mengukur konsentrasi eritrosit, leukosit dan trombosit dalam darah. PV ditandai dengan adanya peningkatan hematokrit, jumlah sel darah putih (terutama neutrofil), dan jumlah platelet.
Pemeriksaan darah lainnya, yaitu adanya peningkatan kadar serum B12, peningkatan kadar asam urat dalam serum, saturasi oksigen pada arteri, dan pengukuran kadar eritropoietin (EPO) dalam darah.
3.  Pemeriksaan Sumsum tulang
Meliputi pemeriksaan histopatologi dan nalisis kromosom sel-sel sumsum tulang (untuk mengetahui kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang akibat mutasi dari gen Janus kinase-2/JAK2).
G.        TERAPI NON FARMAKOLOGI
Tujuannya untuk mencegah bertambah parahnya penyakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
1.    Banyak berolahraga, latihan ringan seperti jalan santai dan jogging dapat memperlancar aliran darah sehingga dapat mengurangi resiko penggumpalan darah. Selain itu juga dianjurkan untuk melakukan peregangan kaki dan lutut.
2.    Tidak merokok. Merokok dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang akan meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke akibat gumpalan darah.
3.    Merawat kulit dengan baik, untuk mencegah rasa gatal, mandi dengan air dingin dan segera keringkan kulit. Hindari mandi menggunakan air panas. Jangan biasakan menggaruk karena dapat menimbulkan luka dan infeksi.
4.    Menghindari temperatur yang ekstrim. Buruknya aliran darah pada penderita polisitemia vera menyebabkan tingginya resiko cedera akibat suhu panas dan dingin. Di daerah dingin, gunakan baju hangat dan lindungi terutama bagian tangan dan kaki. Untuk di daerah panas, lindungi tubuh dari sinar matahari serta perbanyak minum air.
5.    Waspada terhadap luka. Aliran darah yang buruk menyebabkan luka sulit sembuh, terutama di bagian tangan dan kaki. Periksa bagian tersebut secara berkala dan hubungi dokter apabila menderita luka atau cedera.


H.        TERAPI MEDIS DAN NON MEDIS
Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan pasien. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup pasien.
Tujuan terapi yaitu:
1.    Menurunkan jumlah  dan memperlambat pembentukan sel darah merah (eritrosit).
2.    Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-vena, serebrovaskular, trombosis vena dalam, infark miokard, oklusi arteri perifer, dan infark pulmonal.
3.    Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.
Prinsip terapi :
1.    Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2.    Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali.
3.    Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
4.    Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
5.    Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
·      Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis
·      Leukositosis progresif
·      Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik
·      Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Terapi PV :
1.  Flebotomi
Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin satu-satunya bentuk pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien, kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
Pada flebotomi, sejumlah kecil darah diambil setiap hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Jika nilai hematokrit sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan, sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan perempuan.
2.  Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi sel darah merah atau konsentrasi platelet)
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Lebih baik  menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi.
Kemoterapi yang dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap lebih aman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka panjang.
Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV.
Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3 minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:  pada pria < 45% dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%.
3. Fosfor Radiokatif (P32)
Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan sumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian pertama P32 :
·      Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan.
·      Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
4.  Kemoterapi Biologi (Sitokin)
Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalah Interferon (Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan).
5.   Pengobatan pendukung
1.    Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
2.    Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA).
3.    Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
4.    Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
5.    Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau  tambahan ketika hidroksiurea tidak memberikan toleransi yang baik atau dalam kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet tinggi). Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum. Pasien yang lebih tua dan pasien dengan penyakit jantung umumnya tidak diobati dengan anagrelid.

ENSEFALOPATI HEPATIK

A.   Epidemiologi
Ensefalopati hepatic adalah sindrom yang ditemukan pada pasien dengan sirosis hati. Data kepustakaan tentang ensifalopati hepatikum di Indonesia ternyata masih sedikit. Diluar negri kejadian ensifalopati hepatic subklinik berkisar antara 30 – 84%. Tanda-tanda samar ensefalopati hepatikditemukan pada 70% pasien sirosis hati. Pada penelitian Mmorgan dan Strangen diketahui 18% dari 71 penderita sirosis hati memberikan tes psikometri normal, 48% memperlihatkan gambaran ensefalopati hepatic subklinik sedangkan 34% jelas tampak jelas dengan gejala dan tanda ensefalopati hepatic.
Di bagian penyakit dalam FKUI selama setahun ditemukan penderita sirosis hati 109 pasien, diantaranya dengan 55 pasien ensefalo hepatic. Ensefalo hepatic yang spontan didapatkan 13 pasien atau 37%, sedangkan pada 22 pasien diduga factor pencetus dari perdarahan saluran cerna13 pasien atau 37% , infeksi akut 6 pasien atau 17% , dan hipokolemi 3 pasien atau 9%. Ensefalopati hepatic stadium II ditemukan 9 pasien, stadium III 19 pasien dan stadium IV 7 pasien.
Beberapa penelitian yang menunjukan bahwa sirosis hati yang terlihat normal, ternyata 34-80% didapatkan ensefalopati hepatic ringan atau laten / subklinik. Hal ini dapat dideteksi dengan uji psikometrik, uji entelegensi, kemampuan konsentrasi dan EEG.

B.   Definisi
Ensefalopati hepatic atau koma hepatic, atau koma portosistemik adalah sindroma neuropsikiatrik yang ditandai dengan adanya perubahan kesadaran, penurunan intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai kelainan hati. Beberapa bentuk dari EH dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Clinical Characteristics of Various Forms of Hepatic Encephalopathy


Precipitating Factors
Clinical Course
Reversibility
Acute
+
Short*
+/-*
Recurrent
+/-
Short
+
Persistent
-
Continuous
-
Subclinical
-
Insidious
-
*May be lethal or irreversible, as in fulminant hepatic failure
 

C.    Patogenesis
Hingga kini belum diketahui etiologi dan pathogenesis enselopati hepatic. Tidak ada kelainan tunggal biokimiawi atau fisiologi sebagai penyebab pasti ensefalopati hepatic. Kelainan patologi yang dijumpai pada otok penderita ensefalopati hepatic belum mengungkapkan problem ensefalopati hepatic, walaupun dijumpai peningkatan astrosis dan varietas Alzeimer II. Sel ini khususnya berada pada basal ganglia dan korteks, yang memainkan peran penting dalam detoksifikasi anomia serebral.
Sampai saat ini patologi ensefalohepatik sangat kompleks dan belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Sebagian besar penelitian menunjukan bahwa ensefalopati hepatic berhubungan dengan kelainan faal otak yang disebabkan karena adanya sirkulasi portosistemik yang langsung, tanpa melalui hati, serta adanay kerusakan, dan gangguan faal hati yang berat.


 














Beberapa hipotesis yang diajukan adalah
a.       Amonia
Berasal dari metaolisme protein, perdarahan saluran cerna, pemecahan urea dari kolon. Pada keadaan normal ammonia berasal dari kolon, akan tetapi pada penderita ensefalo hepatic juga bias berasal dari usus halus. Amonia yang terbentuk pada usus dibawa ke hati dengan aliran portal dan dibersihkan dan diubah menjadi urea dan dikelurkan melalui ginjal. Pada sirosis hati ammonia kurang dapat dibersihjkan dan dengan adanya pintasan intra dan ekstra hepatic, ammonia melalui aliran sistemik masu ke otak.
Amonia melalui  dua mekanisme secara direk toksik terhadap neuron dan post synapsis dan indirek melalui mekanisme glutamate-glutamin dalam astrosit dan neuron.
Amonia yang masuk kedalam otak dibersihkan melalui pengambilan ammonia masuk ke astrosit diubah menjadi glutamine dengan ikatan bersama glutamate. Glutamin masuk lagi ke neuron dan diikat kembali menjadi glutamate, disimpan dalam vesikel sinapsis dan sebagian keluar melalui mekanisme kalsium dependen ke reseptor dan sebagian lagi masuk ke astrosit untuk mengikat ammonia darah.
Sumber peningkatan kadar ammonia antara lain adalah kurangnya metabolisme otot, pembersihan di hati, hasil bakteri usus, kerusakan astrosit, peningkatan blood braine barrier, penurunan mekanisme glutamate-glutamin, mekanisme exalotory inhibibitory.
Amonia belum dibuktikan sebagai neurotoksin tunggal dari keadaan koma, karena konsentrasi tidak berhubungan erat dengan keparahan koma akan tetapi dianggap merupakan factor yang penting dalam potogenesis koma hepatkum. Sekitar 10% penderita koma hepatikum dengan kadar ammonia dengan batas normal.
b.       Neurotransmiter palsu
Akhir-akhir ini dikemukakan hipotesa peranan “False Neurochemical Transmite”, oleh Fischer dan Baldessarini. Dikatakan sebagian gejala-gejala neurologi dan kardiologi pada koma hepatic mungkin disebabkan karena adanya penimbunan False Neurochemical Transmite” (FNT) menggantikan “transmitter “ normal seperti nerophinoprin, dopamine, di susunan saraf pusat dan perifer. Prekusor-prekusor dari FNT seperti phenylamine, tyrosine, dan amin-aminnya dibentuk dari protein oleh bakteri usus.
Pada keadaan normal zat-zat ini akan dikatabolisme di hati, akan tetapi pada koma hepatic dimana  faal hati terganggu dan adanya “shunting”,maka zat-zat ini akan membanjiri system saraf untuk diubah menjadi FNT. Kenaikan kadaar octopamine yaitu suatu Fnt yang sudah didapat pada otak dan jantung dari binatang percobaan dengan koma hepatic akut dan juga pada darah dan urin dari pasien-pasien  yang koma. Sepertinya ada korelasi antara kadar tersebut dengan tingkat kesadaran.
c.        GABA
Bakteri flora usus menghasilkan bakteri neuro inhibitir GABA. Dalam makanan dijumpai suatu endogen benzodiazepine yang membentuk ikatan kompleks dengan GABA dengan membrane sinapsis normal terjadi sensisitasi terhadap benzodiazepine.

D.   Diagnosis
Gangguan ensefalopati hepatic merupakan gangguan gabungan dari gangguan mental dan neurologic, dan bervariasi tergantung berat ringannya ensefalo hepatic, penyakit penyebab dan factor pencetusnya. Dengan evaluasi yang baik, tanda-tanda ensefalopati yang masih sama dapat diketahui sehingga pengobatan tidak terlambat.
Pada dasarnya gejala-gejala ensefalopati hepatic dapa dibagi menjadi gangguan kesadaran, kepribadian, kecerdasan dan bicara.
Gangguan kesadaran berupa perubahan pola tidur, banyak tidur siang hari, euphoria/penggembira, perilaku berubah dari kebiasaannya, penggembira menjadi pendiam atauoun sebaliknya, bingung , pelupa, dan gampang tersinggung.
Ganggguan personalitas, dimanan penderita bersifat kekanak-kanakan, tidak bias mengenal famillinya, sebelumnya biasa kooperatif terhadap orang lain disekitarnnya. Apraksia konstruksional yaitu tidak bias membuat gambar bintang, menulis namanya sendiri, menghubungkan 25 gambar atau number conection test. Kencing dan buang air disembarang tepat (kehilangan de quarum).








 



















Gangguan bicara dimana penderita berbicara lambat dan mmonoton dan terputus-putus. Beberapa penderita ditemui nafasnya bau seperti tinja, buah busuk, pengap (merkaptan dan bahan yang mengandung belerang), bau ini disebut fetor hepatikum. Tidak ada hubungan linier dengan kedalaman koma penderita dengan fetor hepatikum dan bias saja penderita ensefalopati hepatikum tidak disertai dengan fetor hepatikum. Bau ini juga dijumpai pada uremi, gagal nafas, gagal jantung berat.
Gangguan neurologi berupa flapping tremor atau asteriksis. Hiperekstensi jari diikuti dengan gerak fleksi ekstensi berturut-turut. Pada koma terminal biasanya dijumpai hiperekstensi dan hiperventilasi. Beberapa klinik hepatologi di Eropa mendapatsekitar 18% penderita sianosis hati tanpa gangguan psikometrik yang diizinkan untuk mengmudi (SIM, driving license), tapi 48% subklinikal dan 34% “overt clinical encephalopaty”.


 










Pada pemeriksaan EEG dijumpai perubahan dari alfa ritme 8-13 siklus menjadi delta 4 siklus perdetik. Pada keadaan normal terdapat garis flat pada EEG. Perubahan EEG yang tidak spesifik dijumpai juga pada koma uremikum,retensi CO2, defiasi vitamin B12, atau hipoglikomia. Kelainan EEG penting untuk didiagnostik dan penilaian terapi. Penderita yang sadar dengan sirosis hati punya kelainan EEG dalam diagnostic.

E.    Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yan dapat dilakukan yaitu dengan dapat dideteksi dengan uji psikometrik, uji entelegensi, kemampuan konsentrasi dan EEG.

F.   Terapi
a.    Umum:
§  Faktor-faktor pemicu di cari dan dicoba untuk di hilangkan, seperti infeksi/obat-obatan. Juga di usahakan untuk menghilangkan bahan-bahan racun
§  Klisma untuk membersihkan usus khususnya pada perdarahan saluran cerna
§  Pertahankan balance cairan dan elektrolit
§  Pemasangan kateter intra vena
§  Pencegahan sepsis dan aspirasi pneumonia
b.    Pengobatan
§  Neomycin, metrronidazon, suatu anti biotic akan mengurangi jumlah bakteri usus yang dalam keadaan normal membantu mencernakan protein
§  Lactulose(sirup) efeknya:
·         Mengurangi penyerapan ammonia
·         Berfungsi sebagai pencahar
·         Merubah keasaman usus sehingga merubah jenis bakteri yang ada di usus
§  Memperbaiki neurotransmitter dengan pemberian asam amino rantai cabang (AARC) misalnya:aminoleban (IVFD)
§  Pemberian antagonis benzodiazepin,flumazenil merupakan antagonis benzodiazepin yang ada dipasaran.beberapa studi memperlihatkan manfaat obat ini pada sejumlah pasien dengan EH.diberikan dengan dosis 1-2 mg secara intravena.
G.   Daftar Pustaka

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006.  Buku Ajar Ilmu
      Penyakit Dalam Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
      KedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta

Mansjoer, Arif. 2001 et.al. kapita selekta kedokteran. Ed. 3. Media Aesculapius, Jakarta

www.Iptek.net.id/eng/horizon/horizon idx.php?doc=sirosis hati.htm

www.Interna FK.UI.ac.id/artikel/darurat 2002/dar 2 12.html


Horizontal Scroll: NAMA  : BAYU PRADANA 
KELAS  : C/ KP/ VI
N I M  : 04. 08. 1980